Fayez al-Sarraj merupakan salah satu sosok vital dalam sejarah
kontemporer Libya. Di tengah kekacauan politik serta konflik bersenjata yang melanda negaranya setelah revolusi 2011, ia muncul sebagai figur pemersatu yang membawa misi perdamaian melalui Pemerintah Kesepakatan Nasional (Government of National Accord/GNA). Kepemimpinannya menjadi simbol harapan bagi rakyat Libya yang mendambakan stabilitas.
Latar Belakang Kehidupan dan Karier Awal
Dari Arsitek ke Tokoh Politik
Fayez Mustafa al-Sarraj lahir pada 20 Februari 1960 di Tripoli, Libya. Ia berasal dari keluarga terkemuka; ayahnya, Mostafa al-Sarraj, adalah tokoh politik di zaman Kerajaan Libya. Al-Sarraj mengejar pendidikan di bidang arsitektur di Universitas Tripoli dan memulai kariernya di sektor publik, terutama dalam perencanaan kota dan perumahan.
Walaupun bukan sosok militer atau pemimpin revolusi, pengalaman al-Sarraj dalam birokrasi serta pendekatannya yang moderat menjadikannya sebagai tokoh yang dipandang tepat untuk menjembatani berbagai kepentingan politik di Libya.
Peran Strategis dalam Pemerintah Kesepakatan Nasional
Pembentukan dan Tantangan Awal GNA
Pada tahun 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa mendukung pembentukan Pemerintah Kesepakatan Nasional sebagai upaya untuk menyatukan faksi-faksi yang bertikai. Al-Sarraj kemudian diangkat sebagai Ketua Dewan Presidensial sekaligus Perdana Menteri GNA.
Tugas berat menantinya: Libya saat itu terbelah menjadi dua pemerintahan — satu di Tripoli (barat) dan yang lainnya di Tobruk (timur) yang didukung oleh Jenderal Khalifa Haftar. Dalam situasi krisis keamanan dan ekonomi, al-Sarraj berusaha untuk mendapatkan pengakuan GNA sebagai pemerintahan sah, baik di mata rakyat maupun komunitas internasional.
Upaya Stabilitas dan Diplomasi Internasional
Fayez al-Sarraj terkenal dengan pendekatan diplomatik. Ia membangun hubungan strategis dengan negara-negara seperti Turki, Italia, dan Qatar untuk memperkuat posisi GNA, termasuk dalam aspek keamanan dan ekonomi. Dukungan dari Turki, khususnya, sangat berpengaruh dalam mempertahankan Tripoli dari serangan pasukan Haftar pada 2019–2020.
Meskipun menghadapi tekanan politik dari dalam negeri dan keterbatasan kendali wilayah, al-Sarraj tetap konsisten menyerukan dialog dan rekonsiliasi nasional. Ia menolak solusi militer dan lebih menekankan pada proses politik damai.
Pengunduran Diri dan Warisan Kepemimpinan
Keputusan Mundur demi Transisi Damai
Pada tahun 2020, al-Sarraj mengungkapkan niatnya untuk mundur sebagai bagian dari proses transisi politik yang disepakati dalam dialog internasional. Ia secara resmi menyerahkan jabatannya pada awal 2021 kepada Perdana Menteri sementara Abdul Hamid Dbeibeh, sebagai langkah menuju pemilu nasional.
Keputusan mundur ini mencerminkan sikap negarawan sejati—mengutamakan kepentingan negara di atas ambisi pribadi.
Warisan Seorang Pemimpin Moderat
Fayez al-Sarraj akan dikenang sebagai pemimpin yang berani mengambil tanggung jawab di masa-masa tersulit dalam sejarah Libya. Kepemimpinannya mencerminkan nilai-nilai moderasi, dialog, dan keberanian untuk memilih jalur damai di tengah tekanan senjata.
